Menjadi Guru Profesional, Mungkinkah?
Masalah profesionalisme guru adalah isu yang paling serius diantara permasalahan lain yang dihadapi guru kita. Pembicaraan mengenai problematika guru sering sampai pada kesimpulan bahwa sampai hari ini sepertinya guru "belum percaya diri" menyebut profesi mereka sebagai sebuah profesi yang sejajar dengan profesi lainnya, seperti dokter, pengacara, hakim, atau psikolog. Dengan kata lain, guru seperti "tak bisa" menyebut diri mereka sebagai seorang profesional yang sejajar dengan para profesional di bidang yang lain.
Hal ini disebabkan karena mereka sadar bahwa suatu jenis pekerjaan yang disebut profesi idelnya memiliki kedudukan lebih dibanding dengan pekerjaan lain yang tidak dianggap sebagai profesi. Kedudukan lebih itu bisa berupa materiil maupun sprirituil. Disamping itu, untuk menjadi profesional harus memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu. Seorang profesional menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap lebih dibanding pekerja lainnya. Maka untuk menjadi profesional, seseorang harus memenuhi kualifikasi minimun, sertifikasi, serta memiliki etika profesi (Nurkholis, 2004).
Undang-Undang Guru dan Dosen lahir melengkapi dan menguatkan semangat perbaikan mutu pendidikan nasional yang sebelumnya juga sudah tertuang dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kita berharap, kedua undang-undang ini mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi lahirnya para guru yang betul-betul profesional dalam makna yang sesungguhnya. Lebih jauh kita berharap, kedua undang-undang ini akan membuka jalan terang bagi segenap anak bangsa ini untuk secara perlahan tapi pasti keluar dari berbagai krisis yang melilit bangsa ini melalui perbaikan mutu pendidikan nasional dengan membentuk guru yang profesional sebagai entry point.
Sekalipun masih ada perdebatan tentang siapa yang paling berhak menyelenggarakan program sertifikasi dan yang melakukan uji komptensi guru, namun terlepas dari siapa yang meyelenggarakan, program sertifikasi dan uji kompetensi jelas akan berdampak positif bagi proses terbentuknya guru yang profesional di masa datang. Selain karena dengan program sertifikasi dan uji kompetensi akan ada proses terukur bagi seseorang layak disebut sebagai guru, juga karena program ini bisa menjawab permasalahan klasik guru menyangkut kesejahteraan karena pasal 16 ayat (1) dan (2) UU 14/2005 menyebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik akan memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok dan diberikan oleh pemerintah kepada guru sekolah negeri maupun swasta.
Dengan lahirnya guru yang profesional dalam makna yang sesungguhnya, maka diyakini masyarkat tidak akan lagi melihat "sebelah mata" kepada profesi ini. Efek dominonya adalah akan banyak para siswa pintar kita kembali secara sadar memilih profesi ini sebagai alaternatif karir mereka di masa datang. Jadi, menjadi guru profesional di negeri ini memang bukan tidak mungkin, tapi sepertinya butuh waktu lama dan komitmen yang kuat dari berbagai pihak. Wallahu'alam
Profesionalisme Guru Di Tahun 2009
Pengesahan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 menjadi penanda bahwa profesi guru tidak hanya sebatas pengabdian dengan jaminan kesejahteraan minim. Dengan keberadaan UU ini, guru adalah orang yang betul-betul profesional dengan jaminan kesejahteraan memadai. Ini merupakan elan baru dalam dunia keguruan Indonesia.
Dengan jaminan UU ini, terdekonstruksilah makna profesionalisme guru yang dulunya tidak diminati menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lainnya, seperti ditunjukkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas beberapa waktu lalu. Dari hasil jajak pendapat tersebut diketahui bahwa profesi guru menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lain, seperti dokter dan wartawan.
Namun, dalam konteks pendidikan Indonesia, khususnya dunia keguruan, gambaran tersebut baru berlaku setelah UU Guru dan Dosen disahkan. Sebelumnya profesi guru tidak lebih seperti "pepesan kosong". Dari luar kelihatannya sangat elok dan menarik, tetapi isinya kosong. Jabatan guru memang mendapatkan tempat di hati masyarakat, tetapi ketika berbicara tentang kesejahteraan, nilainya sangat minim (baca: kosong). Di Indonesia hal yang linear itu tidak terjadi.
Kemunculan masalah kultural/tradisi bertitik tolak dari permasalahan waktu. Lamanya kondisi guru berada dalam ketidaksejahteraan telah membentuk tradisi-tradisi yang terinternalisasi dalam kehidupan guru sampai sekarang. Konkretnya, tradisi itu lebih mengacu pada ranah akademis.
Minimnya kesejahteraan guru telah menyebabkan konsentrasi guru terpecah menjadi beberapa sisi. Di satu sisi seorang guru harus selalu menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbarui dan berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Di sisi lain, sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan, seorang guru dituntut memenuhi kesejahteraannya secara berbarengan.
Dalam praktiknya, seorang guru sering kali lebih banyak berjibaku (baca: berkonsentrasi) dengan usahanya dalam memenuhi kesejahteraan keluarga. Akhirnya, seiring dengan perjalanan waktu, sisi-sisi peningkatan kualitas akademis menjadi tersisihkan dan hal ini terus berlangsung sampai sekarang. Minimnya kesejahteraan guru dalam jangka waktu lama telah menggiring budaya/tradisi akademis menjadi terpinggirkan.
Permasalahan moral muncul hampir berbarengan dengan permasalahan kultural. Hemat penulis, permasalahan moral ini bisa disamakan dengan permasalahan watak dari guru itu sendiri. Akar masalahnya sama, muncul sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan guru. Minimnya kesejahteran guru secara tidak langsung telah menggiring guru-guru dalam ruang-ruang sempit pragmatisme. Yang terbayang oleh seorang guru ketika melaksanakan proses pendidikan adalah bagaimana seorang guru bisa dengan cepat menyelesaikan target studi yang telah dirancang. Setelah itu guru bisa langsung beralih profesi sejenak demi mendapatkan tambahan pendapatan karena kesejahteraannya minim. Akhirnya, pendidikan yang seyogianya diselenggarakan melalui proses memadai terabaikan. Hasil akhir menjadi target utama dibandingkan dengan proses yang dilaksanakan. Inilah wujud nyata dari watak-watak pragmatis.
Permasalahan struktural lebih mengacu pada kondisi atau struktur sosial seorang guru di luar proses pendidikan (baca: lingkungan sosial). Jika mengacu pada sumber masalah, hal ini berasal dari minimnya kesejahteraan yang dimiliki seorang guru. Minimnya tingkat kesejahteraan secara materialistis dari seorang guru telah menyebabkan posisi sosial guru di masyarakat tersubordinasi.
Posisi sosial guru menjadi terkesan lebih rendah daripada masyarakat lain yang berprofesi bukan guru, katakanlah itu seorang konsultan, manajer, pengacara, dan lainnya. Padahal, seperti kita ketahui, secara hakikat, profesi yang digeluti seseorang adalah sama, tidak saling menyubordinasi. "Inferiority complex"
Yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam hal ini adalah efek dari subordinasi sosial tersebut. Efek tersebut adalah perasaan rendah diri dari seorang guru, atau dalam bahasa Pramoedya Ananta Toer sebagai inferiority complex. Bagi seorang guru, perasaan rendah diri seperti ini merupakan hal yang harus dihindari. Fungsi guru sebagai pentransformasi sosial kepada peserta didik memerlukan kepercayaan diri yang besar. Bukan tidak mungkin perasaan-perasaan rendah diri tersebut akan menular kepada peserta didik. Hal ini tentu saja sangat berbahaya.
Simpulan sederhana dari ketiga masalah tersebut adalah bahwa akar permasalahan guru kontemporer adalah tingkat kesejahteraan. Minimnya tingkat kesejahteraan guru menjadi permasalahan pokok. Di luar kontroversi tentang UU Guru dan Dosen tersebut, kita mendapatkan pembenaran dari UU Guru dan Dosen tersebut, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan guru.
Lima tahun pascapengesahan UU Guru dan Dosen merupakan masa transisi menuju profesionalisme guru seutuhnya. Oleh karena itu, dalam konteks menuju profesionalisme guru seutuhnya tersebut, masalah-masalah di atas seyogianya diposisikan sebagai sebuah tantangan yang harus segera dijawab.
Ketika tahun 2009 diisi oleh kerja keras guru dalam menjawab ketiga tantangan tersebut, perjuangan menuju profesionalisme guru telah melaju beberapa langkah ke depan. Dengan demikian, menjadi hal wajar apabila tahun 2009 dijadikan sebagai tahun menuju profesionalisme guru seutuhnya. Semoga tahun 2009 menjadi kado manis bagi dunia pendidikan Indonesia.
Perkembangan Profesionalisme Guru
Profesi guru adalah termasuk profesi tua di dunia. Pekerjaan mengajar telah ditekuni orang sejak lama. Perkembangan profesi guru sejalan dengan perkembangan maProfesi guru di abad 21 ini sangat dipengaruhi oleh pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi, sehingga guru dengan kemampuan artifisialnya dapat membelajarkan siswa dalam jumlah besar, bahkan bisa melayani siswa yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Guru bukan lagi hanya mengendalikan siswa yang belajar di kelas, tetapi ia mampu membelajarkan jutaan siswa di "kelas dunia"memberi pelayanan secara individual pada waktu yang bersamaan. Sementara itu dengan bantuan teknologi juga pembelajaran tersebut juga dapat dilakukan secara multiakses dan memberi layanan secara individual di mana saja dan kapan saja. Guru di masa lalu sangat mengandalkan buku teks. dan sekarang memanfaatkan hypertext
Profesi guru pada sistem persekolahan mulai berkembang di persada Nusantara pada zaman kolonial. Guru telah ikut berperan dalam pembentukan Negara-Bangsa Indonesia yang memiliki bahasa nasional Bahasa Indonesia. Profesi guru pernah menjadi profesi penting dalam perjalanan bangsa ini dalam menanamkan nasionalisme, menggalang persatuan dan berjuang melawan penjajahan.
Sayangnya pada beberapa dekade yang lalu dan masih berlanjut sampai kini profesi guru dianggap kurang bergengsi dan kinerjanya dinilai belum optimal serta belum memenuhi harapan masyarakat. Akibatnya. mutu pendidikan nasional pun dinilai terpuruk. Persoalan guru semakin menjadi persoalan pokok dalam pembangunan pendidikan, disebabkan oleh adanya tuntutan perkembangan masyarakat dan perubahan global. Hingga kini persoalan guru belum pemah terselesaikan secara tuntas.
Persoalan guru di Indonesia adalah terkait dengan masalah-masalah kualifikasi yang rendah, pembinaan yang terpusat, perlindungan profesi yang belum memadai dan perseberannya yang tidak merata sehingga menyebabkan kekurangan guru di beberapa lokasi. Segala persoalan guru tersebut timbul oleh karena adanya berbagai sebab dan masing-masing saling mempengaruhi.
Permasalahan guru di Indonesia tersebut baik secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah mutu profesionalisme guru yang masih belum memadai. Padahal sudah sangat jelas hal tersebut ikut menentukan mutu pendidikan nasional. Mutu pendidikan nasional yang rendah, salah satu penyebabnya adalah mutu guru yang rendah. Permasalahan guru di Indonesia harus diselesaikan secara komprehensif menyangkut semua aspek terkait yaitu kesejahteraan, kualifikasi, pembinaan, perlindungan profesi, dan administrasinya.
Sebenamya sumber permasalahan pendidikan yang terbesar adalah adanya perubahan, karena itu permasalahan akan senantiasa ada sampai kapan pun. Institusi pendidikan dituntut untuk menyesuaikan dengan perubahan perkembangan yang ada dalam masyarakat. Demikian pula dengan guru, yang senantiasa dituntut untuk menyesuaikan dengan perubahan. Akibatnya demikian banyak permasalahan yang dihadapi oleh guru, karena ketidakmampuan nya menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi di sekelingnya sebagai akibat dari keterbatasannya sebagai individu atau karena keterbatasan kemampuan sekolah dan pemerintah. Jadi masalah pendidikan senantiasa muncul karena adanya tuntutan agar institusi pendidikan termasuk guru menyesuaikan dengan segala perkembangan yang ada dalam masyarakat.
Profesionalisme Guru Dulu Kini dan Nanti
Profesi guru di dalam institusi persekolahan mulai berkembang di seluruh Nusantara pada zaman kolonial. Guru telah ikut berperan dalam pembentukan Negara dan Bangsa Indonesia yang memiliki bahasa nasional Bahasa Indonesia. Profesi guru pernah menjadi profesi penting dalam perjalanan perjuangan bangsa ini dalam menanamkan nasionalisme, menggalang persatuan dan berjuang melawan penjajahan. Sayangnya dalam beberapa dekade terakhir ini, kini profesi guru dianggap kurang bergengsi dan kinerjanya dinilai belum optimal serta belum memenuhi harapan masyarakat. Akibatnya mutu pendidikan nasional pun dinilai terpuruk.
Persoalan guru semakin menjadi persoalan pokok dalam pembangunan pendidikan, disebabkan oleh adanya tuntutan perkembangan masyarakat dan perkembangan global. Hingga kini persoalan guru belum pernah terselesaikan secara tuntas. Persoalan guru di Indonesia adalah terkait dengan masalah-masalah kualifikasi yang rendah, pembinaan yang terpusat dan hanya sekedar proyek, perlindungan profesi yang belum memadai dan persebarannya yang tidak merata sehingga menyebabkan kekurangan guru di beberapa lokasi. Segala persoalan guru tersebut timbul oleh karena adanya berbagai sebab dan masing-masing saling mempengaruhi.
Melihat pendidikan di negara kita yang mutunya pada umumnya masih kurang baik maka pemerintah harus selayaknya memperbaiki agar mutu pendidikan di Indonesia dapat disejajarkan dengan negara-negara di asia. Maka peran guru sangatlah penting dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Untuk itu, seorang guru harus mampu meningkatkan profesionalismenya sebagai seorang pendidik. Sehingga dapat dirumuskan masalah “Upaya-upaya apakah yang dapat meningkatakan profesionalisme guru “.
Permasalahan guru di Indonesia tersebut secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah mutu profesionalisme guru yang masih belum memadai. Padahal sudah sangat jelas hal tersebut tidak menentukan mutu pendidikan nasional. Mutu pendidikan nasional yang rendah , salah satu penyebabnya adalah mutu guru yang masih rendah. Permasalahan guru di Indonesia harus diselesaikan scara komprehensif menyangkut semua aspek terkait yaitu kesejahteraan, kualifikasi, pembinaan, perlindungan profesi, dan administrasinya.
Sebenarnya sumber permasalahan pendidikan yang terbesar adalah adanya perubahan, karena itu permasalahan akan senantiasa ada sampai kapanpun. Institusi pendidikan dituntut untuk menyesuaikan dengan perubahan perkambangan yang ada dalam masyarakat. Demikian pula dengan guru, yang senantiasa dituntut untuk menyesuaikan dengan perubahan. Akibatnya demikian banyak permasalahan yang dihadapi oleh guru, karena ketidakmampuannya menyesuaikan perubahan yang terjadi di sekelilingnya sebagai akibat dari keterbatasnnya sebagai individu atau karena keterbatasan kemampuan sekolah dan pemerintah. Jadi masalah pendidikan senantiasa muncul karena adanya tuntutan agar institusi pendidikan termasuk guru menyesuaikan dengan segala perkembangan yang ada dalam masyarakat
Profesionalisme guru di bangun melalui penguasaan kompetensi-komptensi yang secara nyata diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah : kompetensi bidang bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, kompetensi bidang pendidikan nilai dan bimbingan serta kompetensi bidang hubungan dan pelayanan / pengabdian masyarakat.
Idealisme Profesi Guru
Mengapa pendidikan kita masih terpuruk? Permasalahan sesungguhnya bukan terletak pada kurikulum pendidikan yang sering berganti tiap kali berganti menteri, bukan pada program peningkatan mutu sekolah/mutu pendidikan melalui SNSI yang selama ini menjadi target kebijakan Depdiknas, dan bukan pula terletak pada nilai Ujian Nasional yang selalu meningkat tiap tahun yang justru menjadi polemic antara pemerintah dan masyarakat.
Menurut penulis permasalahan yang paling utama sebenarnya adalah terletak pada tidak dimilikinya kompetensi standar atau belum memadainya profesionalisme guru sebagai simbol idealisme profesi, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen.
Masih banyaknya guru mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau kelimuannya adalah salah satu bukti nyata tidak terstandarnya kualitas pendidik. Menurut Sumargi, (1996) “Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia”.
Dilihat dari kacamata keterlaksanaan pembelajaran dapat dikatakan tidak bermasalah, tetapi dari kacamata ketuntasan atau tuntutan kurikulum mungkin saja konsep pegajarannya menjadi bias, ngambang, dan tidak terarah karena boleh jadi materi yang diajarkan pada siswa sebatas apa yang di ketahui guru saja. Kondisi ini yang memacu guru mengembangkan konsep asal mengajar dan mengugurkan tugas, tanpa mau tahu target kurikulum yang telah diprogramkan.
kelemahan guru adalah (1) Masih banyak guru yang bersikap tidak profesional seperti tidak dimilikinya jiwa kreatif dan inovatif dalam menyampaikan materi pelajaran, seringnya guru mengulur-ulur waktu belajar-mengajar, atau situasional guru yang merasa bingung dan belum siap untuk mengajar. (2) Kebanyakan guru merasa cukup dengan keilmuan yang telah mereka dapat di bangku kuliah, sehingga program pengajaran yang dikembangan akan selalu begitu dan akan tetap begitu, padahal perkembangan IPTEK setiap waktu selalu berubah dalam hitungan detik, begitu pun dengan tuntutan kompetensi siswa setiap waktu selalu meningkat seiring perkembangan teknologi informasi. Kelemahan ini yang menggiring para guru menjadi gagap terhadap teknologi dan pengetahuan yang up to date. (3) Kebanyakan guru mengajar tanpa program yang jelas dengan alasan mereka merasa hafal di luar kepala terhadap materi yang akan di sampaikan. Anggapan ini yang menjadikan guru mengajar tidak sitematis dan jauh dari metode berfikir analitis yang ujung-ujungnya akan berdampak pada menurunnya minat belajar siswa.
Idealisme profesi guru dan komitmen membangun merupakan kunci jawaban dari persoalan pendidikan yang di hadapi selama ini. Implementasi UU No. 14 tahun 2005 menjadi harapan terkuat dalam mendongkrak pendidikan kearah yang lebih maju, sehingga mampu mensejajarkan diri dengan negara lain, seperti era tahun silam dimana pendidikan Indonesia jauh lebih baik dari Malaysia. Menurut penulis, Selain kualifikasi pendidikan, profesionalisme guru dapat di lihat dari: (1) tingginya rasa tanggungjawab dan komitmen guru dalam membangun pendidikan bermutu; (2) adanya kemauan dan keseriusan guru untuk mengembangkan potensi kependidikan atau kompetensi dasar sesuai dengan tuntutan IPTEK; (3) kemampuan untuk berfikir analitis, sistematis dan bersikap aktif, kreatif serta inovatif dalam mengembangkan program pendidikan; dan (4) kemampuan membangun konsep belajar bermakna, menarik dan menyenangkan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi.
Sertifikasi Guru dan Permasalahannya
Guna meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan di Indonesia, pemerintah telah meluncurkan berbagai kebijakan, salah satunya yang saat ini sedang hangat dibicarakan adalah kebijakan yang berkaitan dengan sertifikasi guru. Meski dengan kuota yang terbatas, di beberapa daerah,– melalui Dinas Pendidikan setempat- saat ini sedang menawarkan kepada guru-guru yang dianggap telah memenuhi syarat untuk diajukan sebagai calon peserta sertifikasi. Sambutannya memang luar biasa, para guru sangat enthusias untuk mengikuti kegiatan seleksi ini, bahkan para guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah pun ramai-ramai ikut mendaftarkan diri sebagai calon peserta, terlepas apakah yang bersangkutan masih aktif atau tidak aktif menjalankan profesi keguruannya. Barangkali, motivasi yang sangat kuat untuk ikut serta dalam ajang ini adalah
disamping keinginan memperoleh legitimasi sebagai guru profesional atau guru yang kompeten, tentunya daya tarik dari disediakannya tunjangan profesi dan fasilitas lainnya yang lumayan menggiurkan.
Permasalahan tidak hanya dirasakan oleh para guru yang belum memiliki kualifikasi D4/S1 saja, yang jelas-jelas tidak bisa diikutsertakan, tetapi bagi para guru yang sudah berkualifikasi D4/S1 pun tetap akan menjumpai sejumlah persoalan, terutama kesulitan guna memenuhi empat komponen lainnya, yaitu komponen : (1) pendidikan dan pelatihan, (2) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (3) prestasi akademik, dan (4) karya pengembangan profesi. Saat ini, keempat komponen tersebut belum sepenuhnya dapat diakses dan dikuasai oleh setiap guru, khususnya oleh guru-guru yang berada jauh dari pusat kota. Frekuensi kegiatan pelatihan dan pendidikan, forum ilmiah, dan momen-momen lomba akademik relatif masih terbatas. Begitu juga budaya menulis, budaya meneliti dan berinovasi belum sepenuhnya berkembang di kalangan guru. Semua ini tentu akan menyebabkan kesulitan tersendiri bagi para guru untuk meraih poin dari komponen-komponen tersebut.
Oleh karena itu, jika ke depannya kegiatan sertifikasi guru masih menggunakan pola yang sama, yaitu dalam bentuk penilaian portofolio dengan mencakup 10 (sepuluh komponen) seperti di atas, maka perlu dipikirkan upaya-upaya agar setiap guru dapat memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk meraih poin dari komponen-komponen tersebuPenyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan, forum ilmiah dan aneka lomba akademik bagi guru, sudah pasti harus menjadi tanggung jawab pemerintah, khususnya pemerintah daerah melalui sekolah atau Dinas Pendidikan setempat. Akan tetapi, organisasi profesi, perguruan tinggi dan masyarakat setempat pun seyogyanya dapat turut ambil bagian untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut, sebagai wujud nyata dari tanggung jawab dan kepeduliannya terhadap pendidikan.
Dengan semakin terbukanya peluang-peluang untuk mengikuti berbagai kegiatan di atas, maka kesempatan guru untuk memperoleh poin penilaian dalam rangka mengikuti program sertifikasi pun semakin terbuka lebar. Bersamaan itu pula, niscaya kualitas guru dapat menjadi lebih baik dalam mengantarkan pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia menuju ke arah yang lebih berkualitas.
Masih seputar permasalahan sertifikasi guru, khusus untuk para konselor/guru pembimbing tampaknya harus lebih bersabar lagi, karena hingga saat ini sepertinya pemerintah belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakannya pada profesi ini. Berbagai ketidakjelasan dalam kebijakan tentang konseling di sekolah, termasuk dalam hal sertifikasi konselor/guru pembimbing masih tetap dirasakan membingungkan, misalnya dalam menilai perencanaan dan pelaksanaan konseling, saat ini terpaksa masih menggunakan instrumen penilaian perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, yang sebenarnya isi dan indikatornya kurang sesuai dengan karakteristik tugas dan pekerjaan konseling
untuk memperjuangkan nasib anggota profesi dan eksisitensi profesinya sendiri dalam kebijakan pendidikan nasional kita. Meskipun dalam organisasi profesi ini banyak pakar konseling yang terlibat sebagai pengurus maupun anggota organisasi, tetapi rupanya kepakaran mereka tidaklah cukup untuk meyakinkan pemerintah dalam membuat kebijakan pendidikan yang benar-benar memiliki keberpihakan pada profesi konseling, yang pada akhirnya profesi konseling tetap saja dalam posisi yang termarjinalkan. Memang sungguh sangat tragis dan menyakitkan, dan itulah salah satu lagi bukti dari “keajaiban” kebijakan pendidikan kita!
Kompetensi Profesional
Profesional secara esensial memiliki 3 dimensi pokok yaitu Keilmuan dan pengetahuan ( Science and Knowledge ), Keahlian ( Skill ) dan kesejawatan ( Organisasi Profesi ).
Guru yang Profesional paling tidak harus memiliki dan mengembangkan kemampuannya dalam tiga pilar profesional diatas karena sebagai Guru bukanlah profesi asal-asalan tetapi profesi sentral yang sangat berpengaruh terhadap wajah pendidikan Nasional pada masa yang akan datang. Keterpurukan bangsa ini salah satu indikator penyebabnya adalah rendahnya kwalitas pendidikan kita jangankan secara global ditataran negara berkembang diasia saja IPM kita masih berada dibawah negara tetangga kita malaysia. Standar kelulusan diNegara jiran kita itu sudah mencapai 7 sedangkan dinegara kita direncanakan 5 koma saja sudah ribut.
Guru yang profesional adalah Guru yang harus mampu menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam serta mampu memgembangkan materi tersebut dengan konsep keterkaitan secara universal dan menerapkan konsep – konsep keilmuan , Metode pengajaran yang koheren dengan materi ajar secara mendalam dan berkwalitas. Disamping itu Guru juga harus mampu mengeksplorasi konsep dan metode keilmuannya , melakukan penilitian dan kajian – kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan tentang materi ajar sehingga mampu menemukan penemuan baru dalam prose pembelajaran.
Secara Nasional dapat dicatat permasalahan dan tantangan dunia pendidikan meliputi :
1.Distribusi Guru tidak merata padahal Negara membutuhkan banyak Guru seiring dengan jumlah penduduk yang terus meningkat namun disisi lain penghargaan pemerintah terhadap profesi Guru relative rendah.
2.Rendahnya kualifikasi tingkat pendidikan Guru, ditambah Kompetensi yang tidak menunjang baik kompetensi
Paedagogik, kepribadian, professional maupun Sosial menyebabkan rendahnya penghargaan masyarakat baik masyarakat umum maupun Dunia usaha dan industri.
Sedangkan tantangan secara Global menurut Jihad adalah Era Global menuntut peningkatan kualitas demokratisasi , Transparansi, Budaya Mutu dan HAM. Perkembangan IMTAQ dan akselerasi IPTEK memerlukan SDM yang berkualitas sementara pasar bebas menuntut hal serupa, aktualisasinya hanya mungkin bisa dilakukan melalui pendidikan yang bermutu.
Permasalahan dan tantangan diatas merupakan akumulasi dari ketidak-mapanan-nya dunia pendidikan nasional kita dalam kurun waktu yang begitu lama untuk menemukan karakteristiknya, semua itu diakibatkan oleh berbagai macam gejolak dan kepentingan. Namun, semua apa yang disampaikan dalam seminar tersebut terangkum dalam berapa kesimpulan yaitu Guru profesional merupakan kebutuhan yang sangat mutlak bagi dunia pendidikan untuk mencapai mutu pendidikan yang baik.Dengan mutu pendidikan yang baik akan mencapai tingkat kecerdasan yang tinggi,kesejahtraan yang layak,martabat yang terhormat,serta mampu bersaing secara Global dengan bangsa lain. Ditangan Gurulah harapan yang besar bangsa ini ditambatkan karena itu Guru haruslah manusia yang berkwalitas,menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,mampu dan proaktif mengantisipasi dan menjawab tantangan jaman yang terus berubah dan semakin kompleks; dengan landasan iman dan taqwa kepada Tuhan yang maha Esa.**
Makna Profesionalisme Guru di Mata Siswa
Kinerja guru saat ini sedang ramai disorot, baik kaitannya dengan kelayakannya mengajar, sikap profesionalismenya, maupun sertifikasi yang akhir-akhir ini selalu menjadi wacana hangat yang sering diperbincangkan.
SESEORANG yang memutuskan untuk berprofesi guru dituntut mampu memformulasikan berbagai elemen yang ada dalam dirinya, lingkungannya serta sisi keagamaannya menjadi satu kesatuan penunjang dalam kehidupan profesinya. Badudu-zain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata "profesional" sebagai orang yang yang memiliki keahlian dan keterampilan. Karena, pendidikan dan latihan, berarti profesionalisme seorang guru harus lahir berbarengan pada saat ia memutuskan untuk menjadi seorang guru.
Yang menjadi permasalahan adalah adanya opini umum siswa yang mengklasifikasikan guru ke dalam dua kelompok dengan karakteristik yang berbeda. Masih ada dalam ingatan kita ketika masih di bangku sekolah dulu, tentang guru yang enak dan tidak enak dalam mengajar. Mengapa hal tersebut bisa terjadi padahal keterampilan dan keahlian telah mereka miliki?
Anggapan siswa tentang profesionalisme seorang guru adalah mereka yang mampu memadukan kecakapan keilmuannya dengan keterampilan menyampaikan materi pelajaran yang akan diberikan, sehingga apa yang diharapkan dari kegiatan belajar-mengajar tepat sasaran, efektif dan efisien. Menilai profesionalisme seorang guru jangan hanya terfokus pada satu sudut pandang, yakni dilihat dari sisi kelayakan mengajar maupun sertifikasi. Memang dua hal itu syarat mutlak yang harus dimiliki, tapi di lain pihak, sudut pandang siswa akan profesionalisme guru pun jangan hanya dipandang sebelah mata, toh mereka adalah pihak kedua yang merasakan langsung pengaruhnya.
Guru profesional di mata siswa adalah mereka yang mampu menyampaikan materi pelajaran dengan cara yang unik, memikat, tidak membosankan, mampu merangsang motivasi belajar siswa, mau memandang siswa sebagai sahabat dan mampu menyentuh aspek psikis mereka. Kecerdikan seorang guru pun diuji. Dalam hal ini, seperti bagaimana kemampuan guru dalam membaca suasana kelas sebelum proses belajar berlangsung, membaca mood siswa terhadap pelajaran sehingga tahu "jurus" dan trik apa yang akan digunakan untuk meyampaikan pelajaran.
Menjadi guru profesional adalah dambaan setiap pengajar. Sebutan profesional merupakan dampak yang lahir dari hubungan kausalitas (sebab akibat), di mana respons/reaksi yang diberikan berasal dari sejauhmana penguasaan seorang pengajar dalam mempertanggungjawabkan tugas profesinya serta benar-benar kompeten dalam bidangnya. Sikap mawas diri terhadap perkembangan zaman, pengetahuan, mau memperluas wawasan dan mengembangkan keterampilan mengajar adalah modal awal yang harus dimiliki.
Makna profesional seorang guru ditinjau dari sudut pandang siswa sebagai pihak kedua, masih memiliki makna yang ambigu. Dengan adanya opini siswa yang mengelompokkan gaya mengajar guru ke dalam dua kelompok tadi, maka jelaslah bahwa profesionalisme merupakan hal yang sangat kompleks, seorang guru yang sangat menguasai bidang studinya secara mendalam belum tentu bisa dikatakan profesional bila ia kurang memiliki keterampilan dalam proses menyampaikan materi pelajaran kepada muridnya.
Mental yang tangguh, rasa tanggung jawab kepada profesi, anak didik dan tentunya Allah SWT merupakan motivasi utama seorang guru, mengajar. Karena mengajar bukan hanya proses mentransfer ilmu pengetahuan semata, tetapi juga merupakan proses mendidik agar siswa berperilaku baik, memberi contoh teladan, serta mau belajar dari anak didik agar hubungan timbal balik antara kedua belah pihak menjadi sinergi positif dalam membangun proses kegiatan belajar mengajar yang baik di sekolah. Maka sudah sepantasnya bila seorang guru harus selalu mau belajar dan mau memperbaiki segala kekurangannya. Wallahu a'lam.
Tantangan Profesionalisme Guru Ekonomi Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi
Ada tiga tantangan yang dihadapi guru dalam meng-implementasikan KBK, yaitu; tatangan bidang pengelolaan kurikulum, bidang pembelajaran dan bidang penilaian. Dalam menghadapi tantangan itu akan sangat tergantung pada profesionalisme guru. Guru profesional akan dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dan penilaian yang menyenangkan bagi siswa dan guru, sehingga dapat mendorong tumbuhnya kreativitas belajar pada diri siswa. Pemilihan model pembelajaran yang tepat akan sangat menentukan minat dan partisipasi siswa dalam pembelajaran. Melalui model pembelajaran yang tepat diharapkan siswa tidak hanya dapat pengetahuan ekonomi, namun juga memiliki kesan yang mendalam tentang materi pelajaran, sehingga dapat mendorong siswa untuk mengimplementasikan konsep nilai-nilai ekonomi dalam kehidupan sehari-sehari.
Merujuk pada implementasi KBK paling tidak guru menghadapi tiga tantangan besar, yaitu tantangan pada bidang pengelolaan kurikulum, pembelajaran dan penilaian. Implementasi KBK berimplikasi serangkaian tuntutan yang harus dipenuhi oleh seorang guru dalam menjalan tugas keprofesionalannya. Tugas profesional seorang guru (Dikmenjur, 2001) antara lain harus mampu: menganalisis, menguasai dan menginplementasikan kurikulum dalam bentuk teori dan praktek; menguasai materi bidang studi yang diajarkan; membuat rencana pembelajaran. memilih dan mengembangkan materi dengan memperluas dan memperdalam dasar-dasar kejuruan yang lebih kuat dan mendasar; memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Berinteraksi (berkomunikasi) secara efisien dan efektif; menjalin kerja sama dengan instansi lain yang terkait dengan pembelajaran yang akan diberikan (dalam praktek); mengembangkan media pembelajaran; memilih dan menggunakan sumber belajar; memanfaatkan sarana dan lingkungan belajar; mengatur program pembelajaran dan jadwal akademik; memilih dan menetapkan materi kontekstual dengan kebutuhan lapangan kerja; menerapkan strategi pembelajaran yang lebih menekankan pada kebermaknaan hasil belajar; mengelolakelas(classroom management); melaksanakan praktek dengan menghubungkan dan menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja; mengembangkan alat dan melaksanakan evaluasi hasil belajar, secara menyeluruh yang mencakup aspek kognitif, afektif, psychomotorik serta intelektual skill; memahami karakteristik siswa; memberi layanan bimbingan kepada siswa; dapat membagi perhatian terhadap proses dan hasil belajar secara profesional; membaca hasil penelitian dan publikasi lain yang bermanfaat bagi pengembangan diri dan profesinya; melakukan penelitian sederhana (action research); serta memiliki wawasan global.
Untuk mengantisipasi tantangan dunia pendidikan yang semakin berat, maka profesionalime guru harus dikembangkan. Beberapa cara yang dapat ditempuh dalam pengembangan profesionalitas guru menurut Balitbang Diknas antara lain adalah :
1. ”Perlunya revitalisasi pelatihan guru yang secara khusus dititikberatkan untuk memperbaiki kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan dan bukan untuk meningkatkan sertifikasi mengajar semata-mata;
2. Perlunya mekanisme kontrol penyelenggaraan pelatihan guru untuk memaksimalkan pelaksanaannya;
3. Perlunya sistem penilaian yang sistemik dan periodik untuk mengetahui efektivitas dan dampak pelatihan guru terhadap mutu pendidikan;
4. Perlunya desentralisasi pelatihan guru pada tingkat kabupaten/kota sesuai dengan perubahan mekanisme kelembagaan otonomi daerah yang dituntut dalam UU No.22/1999.
5. Perlunya upaya-upaya alternatif yang mampu meningkatkan kesempatan dan kemampuan para guru dalam penguasaan materi pelajaran;
6. Perlunya tolok ukur (benchmark) kemampuan profesional sebagai acuan pelaksanaan pembinaan dan peningkatan mutu guru;
7. Perlunya peta kemampuan profesional guru secara nasional yang tersedia di Depdiknas dan Kanwil-Kanwil untuk tujuan-tujuan pembinaan dan peningkatan mutu guru;
8. Perlunya untuk mengkaji ulang aturan/kebijakan yang ada melalui perumusan kembali aturan/kebijakan yang lebih fleksibel dan mampu mendorong guru untuk mengembangkan kreativitasnya;
9. Perlunya reorganisasi dan rekonseptualisasi kegiatan Pengawasan Pengelolaan Sekolah, sehingga kegiatan ini dapat menjadi sarana alternatif peningkatan mutu guru;
10. Perlunya upaya untuk meningkatkan kemampuan guru dalam penelitian, agar lebih bisa memahami dan menghayati permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam proses pembelajaran.
11. Perlu mendorong para guru untuk bersikap kritis dan selalu berusaha meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan.
12. Memperketat persyaratan untuk menjadi calon guru pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK);
13. Menumbuhkan apresiasi karier guru dengan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan karier;
14. Perlunya ketentuan sistem credit point yang lebih fleksibel untuk mendukung jenjang karier guru, yang lebih menekankan pada aktivitas dan kreativitas guru dalam melaksanakan proses pengajaran”.
Untuk lebih mendorong tumbuhnya profesionlisme guru selain apa yang telah diutarakan oleh balitbang diknas, tentunya ”penghargaan yang profesional” terhadap profesi guru masih sangat penting. Seperti yang diundangkan bahwa guru berhak mendapat tunjangan profesi. Realisasi pasal ini tentunya akan sangat penting dalam mendorong tumbuhnya semangat profesionlisme pada diri guru.
Ada Apa dengan Profesionalisme Guru?
Profesionalismekah, jika guru memiliki sikap setia, tekun serta berdaulat berdasarkan ekspresi sebagai keharusan bukan sebagai rasa terpaksa, sehingga hubungan guru dengan murid akan lebih hangat. Persoalan siswa mudah ditangkap oleh guru dalam kesulitan proses belajar-mengajar dan dengan berbagai cara berupaya menemukan jalan keluar yang membantu. Jam guru di sekolah mungkin akan diperpanjang yang dimanfaatkan sebagai pendampingan untuk menemukan jalan keluar dari segala persoalan yang dihadapi dalam proses pendidikan. Kesetiaan dan ketekunanlah yang membuat orang berani melakukan pengorbanan waktu guna menemukan jawaban dari persoalan yang dihadapi.
Kesetiaan menjadi guru mudah jika dilihat dari rentang waktu -- sejak seseorang mulai diangkat menjadi guru hingga sekarang. Tetapi apakah kesetiaan terbuka untuk dinilai oleh lingkungan sehingga bisa dinilai memiliki ketekunan yang mengandung aspek loyalitas terhadap profesi?
Dalam pernyatan lain di dalam keseharian kita sering kali mendengar kata loyalitas dan intensitas, jika dikaitkan dengan profesionalisme dari tahun ke tahun, dari satu perubahan ke perubahan selalu bergema. Dalam banyak 'ritual' kerap muncul dalam retorika bahwa loyalitaslah yang membawa perubahan. Tentu saja ada benarnya. Dengan demikian antara pernyataan yang sangat suka menggunakan kata loyalitas dalam ritual tidak jauh sebenarnya dengan kata kesetiaan oleh Mayeroff tadi. Hanya saja lebihnya kata lolayitas kerap dipolitisasi sehingga guru kehilangan sikap berdaulat sehingga dianggap tertular oleh sikap menunggu petunjuk dari atas sebelum bertindak.
Profesionbalisme itu, dengan demikian, berarti juga sikap yang aktif dengan rasa tanggung jawab besar untuk membangun perubahan dari dalam diri. Sehingga muncullah pernyataan 'di tangan guru yang baik kurukulum yang kurang baik akan menjadi baik'. Guru yang baik guru yang profesional, tetapi apa artinya tanpa kesetiaan dan ketekunan?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar